Setiap
cara, teknik dan metode yang digunakan dalam suatu kegiatan tentu memiliki
alasan-alasan masing-masing. Demikian juga dengan alasan penggunaan metode PRA
dalam kegiatan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Beikut ini adalah beberapa alasan dari
penggunaan ini:
1. Selama ini program-program pembangunan diturunkan dari atas dan
masyarakat tinggal menerima saja.
Bukan
rahasia lagi bahwa sebagian besar program pembangunan yang dilaksanakan selama
ini telah ditetapkan oleh lembaga atau pihak yang berwenang dalam menyelenggarakan
program pembangunan itu tanpa ada keterlibatan masyarakat didalamnya. Bahkan
masyarakat sendiri tidak tahu tentang rencana pembangunan itu sampai tiba-tiba
program itu diimplementasikan dilapangan dengan membawa dampak buruk kepada
masyarakat seperti penggusuran, merubah tata ruang lingkungan masyarakat dan
lain-lain yang kesemua itu kadang tidak dikehendaki oleh masyarakat.
2. Program direncanakan oleh lembaga penyelenggara pembangunan tanpa
melibatkan secara langsung warga masyarakat yang menjadi sasaran program.
Sebanding
dengan penjelasan diatas, dimana program-program yang turun dari atas itu sudah
tentu tanpa ada partisipasi dan keterlibatan masyarakat didalamnya. Maka tak
heran bila kemudian kita melihat banyak infrastruktur hasil program-program
semacam ini yang akhirnya terbengkalai tidak dipergunakan karena tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Saya pernah melihat bangunan Pustu (Puskesmas
Pembantu) yang bangunan fisiknya telah rusak dan menjadi kandang sapi karena
digunakan oleh sapi untuk berteduh. Saya juga pernah melihat bangunan MCK yang rusak
tidak terurus dan akhirnya tidak terpakai lagi.
3.
Berbagai kritik terhadap
pola pengembangan program yang masih bersifat Top Down.
Kritik-kritik ini muncul sebagai akibat dari adanya
efek negative dari penerapan metode Top Down mulai dari metode pembangunan yang
tidak bersifat demokratis, sampai ke kritik karena hasil pembangunan melalui
program yang bersifat Top Down yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dan hanya
menghabis-habiskan anggaran.
4. Program pembangunan disusun berdasarkan asumsi-asumsi yang keliru
sehingga program tidak menyentuh kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya
dirasakan masyarakat.
Inilah sebagai akibat dari tidak melibatkan
masyarakat dalam perencanaan program tersebut dengan hanya mengandalkan
data-data kuantitatif tanpa mempertimbangkan data-data kualitatif yang pada
kenyataannya lebih menentukan keberhasilan program. Sebagai contoh, disuatu
daerah, berdasarkan data kuantitiatif, banyak masyarakat yang tidak memiliki
akses ke air bersih dan fasilitas sanitasi yang layak. Sebagian besar
masyarakat menggunakan sungai sebagai sumber air minum, mandi dan mencuci
sekaligus sebagai tempat untuk buang hajat. Maka direncanakanlah untuk
membangun MCK tanpa mempertimbangkan data kualitatif bahwa masyarakat disana
belum terbiasa dengan penggunaan MCK terutama untuk aktifitas buang hajat. Maka
hasilnya, MCK yang dibangun terbengkalai dan masyarakat tetap buang hajat di
sungai.
5. Program yang diturunkan dari pusat tidak melibatkan masyarakat, sehingga
masyarakat tidak merasa sebagai pemilik program.
Kepemilikan itu ditentukan oleh kebutuhan
terhadap sesuatu dan kerja keras serta pengorbanan untuk mendapatkannya. Bila
segala sesuatu telah direncanakan dan masyarakat hanya tinggal menerimanya maka
hilanglah rasa kepemilikan pada diri masyarakat. Yang ada hanyalah perasaan
bahwa barang itu milik pemerintah yang
diberikan untuk mereka pergunakan dan apabila rusak mereka tinggal meminta
lagi.
Demikian, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar